Segitiga Restitusi, apakah itu?

Tulisan kali ini merupakan tugas koneksi antar materi pada modul 1.4. Saya mencoba merangkum materi yang telah saya pelajari pada modul 1 Pendidikan Guru Penggerak dan menarik benang merah keterhubungan antar materi-materi tersebut.

Mengingat lagi filosofi pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara, bahwa pendidikan adalah pembudayaan buah budi manusia yang beradab dan buah perjuangan manusia terhadap dua kekuatan yang selalu mengelilingi hidup manusia yaitu kodrat alam dan kodrat zaman. Setiap anak lahir dengan kodratnya sendiri, dan akan tumbuh sesuai dengan kodrat alamnya tersebut. Tugas kita sebagai Pendidik adalah membersamai tumbuh kembang anak sesuai dengan kodratnya, dan membekali mereka dengan keterampilan sesuai zamannya.

Pendidikan bertujuan menyiapkan anak menjadi manusia berdaya, tidak hanya untuk dirinya sendiri namun juga untuk masyarakat. Dalam pencapaian tujuan pendidikan inilah, kita sebagai pendidik perlu membentuk karakter yang bisa menyiapkan anak menjadi manusia dan anggota masyarakat untuk mencapai keselamatan dan kebahagiaan. Untuk mewujudkan tujuan pendidikan, sesuai dengan dasar negara kita, sudah seharusnya profil pelajar Pancasila kita jadikan sebuah pedoman. Dalam membentuk karakter anak agar sesuai dengan profil pelajar pancasila, dalam diri seorang pendidik harus terpatri nilai-nilai yaitu mandiri, reflektif, kolaboratif, dan berpihak pada murid. Selain memiliki nilai-nilai tersebut, pendidik juga perlu melakukan perannya dengan maksimal, sebagai pemimpin pembelajaran, menjadi coach bagi guru lain, mendorong kolaborasi, mewujudkan kepemimpinan murid, dan menggerakkan komunitas praktisi. Untuk mewujudkan semua hal tersebut diperlukan sebuah visi sekolah, yang merupakan cita-cita bersama yang ingin dicapai oleh sekolah.
Untuk mewujudkan visi tersebut, seorang pendidik memiliki peran untuk membangun budaya positif di sekolah. Budaya positif merupakan perwujudan dari nilai-nilai atau keyakinan universal yang diterapkan di Sekolah. Dalam mewujudkan budaya positif, tentunya diawali dengan perubahan paradigma tentang teori kontrol. Selama ini yang terjadi adalah karena guru merasa berkewajiban mengarahkan siswa agar memiliki perilaku yang baik, maka dalam praktiknya guru memberikan hukuman kepada siswa yang melakukan pelanggaran dan memberikan reward terhadap siswa yang melakukan perbuatan sesuai aturan. Padahal dalam beberapa penelitian disebutkan bahwa setiap perilaku manusia pasti memiliki tujuan. Jadi, sebuah pelanggaran yang dilakukan siswa pun pasti memiliki sebuah alasan. Alasan tersebut berasal dari pemenuhan kebutuhan dasar manusia. Ada lima kebutuhan dasar manusia yaitu:
1.Kebutuhan bertahan hidup (Survival)
yaitu kebutuhan berkaitan dengan fisik seperti makan, tidur, tempat tinggal dll.
2.Kebutuhan Cinta dan kasih sayang (Penerimaan).
3.Kebutuhan Penguasaan (pengakuan akan kemampuan)
4.Kebutuhan Kebebasan (Kebutuhan akan pilihan)
5. Kebutuhan akan Kesenangan.

Jika kebutuhan dasar manusia pada siswa sudah terpenuhi, maka langkah berikutnya yang perlu dilakukan adalah dengan menerapkan disiplin positif. Arti kata disiplin selama ini dimaknai sebagai tindakan untuk membuat siswa patuh pada aturan sekolah dan guru. Menurut Diane Gossen dalam bukunya Restructuring School Discipline ada tiga alasan motivasi manusia dalam melakukan sesuatu, yaitu:
1. Untuk menghindari ketidaknyamanan atau hukuman
2. Untuk mendapatkan imbalan atau penghargaan dari orang lain
3.Untuk menjadi orang yang mereka inginkan sesuai dengan nilai-nilai yang diyakini.
Merujuk dari teori diatas, maka tindakan memberikan hukuman dan reward adalah termasuk motivasi eksternal dan hal tersebut hanya akan bertahan sementara.
Melalui hukuman dan reward, siswa memang akan menjadi taat, namun hal itu hanya akan bertahan singkat sehingga tidak bisa mengubah karakter siswa. Penerapan disiplin sekolah sudah seharusnya dilakukan dengan berdasar alasan ke-3. Motivasi internal lebih tahan lama dan membuat siswa makin kuat secara karakter. Hal tersebut sejalan dengan pemikiran Ki Hajar Dewantara yang mengungkapkan bahwa disiplin kepada siswa adalah disiplin diri, sebab hanya diri sendiri yang mampu mengontrol diri kita bukan orang lain. Melalui motivasi internal tersrbut, siswa sendirilah yang dengan sadar diri mau menaati peraturan sesuai dengan keyakinan kelas yang telah disepakati.
Motivasi internal dapat diwujudkan dengan penerapan segitiga Restitusi. Segitiga Restistusi sebagai sebuah upaya mendisiplinkan siswa dengan mengarahkan siswa tersebut agar mampu menyelesaikan masalahnya dan membuat mereka bertindak sesuai dengan keyakinan kelas.
Ketika menerapkan hal tersebut, sudah seharusnya guru bertindak sesuai dengan posisi kontrol yang tepat. Posisi kontrol guru yang terbaik adalah posisi seorang manajer. Di dalam posisi ini, sikap guru ketika melihat siswa melakukan kesalahan tidak langsung menghukum atau menasehati, tapi  diawali dengan sikap memahami tindakan siswa bahwa ketika siswa bersalah itu biasa karena memang setiap manusia pasti pernah bersalah (Menstabilkan Identias). Selanjutnya guru juga mencoba memahami alasan atau kebutuhan dasar apa yang ingin dipenuhi siswa dengan perilakunya tersebut (Validasi Tindakan yang salah). Selanjutnya, siswa diingatkan tentang keyakinan kelas dan dipancing dengan pertanyaan tentang bagaimana seharusnya sikap mereka menurut keyakinan kelas sehingga siswa tersebut mampu menemukan jawabannya sendiri. Setelah itu, barulah siswa dibimbing agar dapat menemukan solusi terbaik yang berdasarkan dengan keyakinan kelas yang telah disepakati. Saat melakukan segitiga restitusi,  seorang pendidik yang memposisikan diri sebagai manajer tidak bersikap emosional, namun bertindak penuh ketenangan dan mampu mengendalikan diri.
Menurut Ki Hajar Dewantara pendidikan adalah tempat menyemai benih kebudayaan. Kebudayaan dibentuk dari kebiasaan yang lama kelamaan akan menjadi sebuah karakter. Pendidikan sejatinya harus mampu menumbuhkan manusia-manusia terbaik yang berpegang pada nilai-nilai keyakinan. Yang memiliki kemerdekaan jiwa, bukan hanya membentuk generasi yang patuh karena tekanan dan aturan tapi harapannya adalah membentuk siswa yang dengan sadar diri bersedia mematuhi keyakinan dan nilai-nilai yang mereka pegang sendiri bukan aturan yang guru atau sekolah paksakan.
Segitiga restitusi merupakan sebuah upaya untuk membuat siswa mampu mengevaluasi diri mereka sendiri agar menjadi manusia yang baik sesuai dengan nilai-nilai kebajikan dan membuat siswa mampu belajar dari kesalahan yang pernah dilakukan.
Melalui beberapa hal diatas, budaya positif  di sekolah diharapkan dapat terwujud.

Refleksi
Banyak hal menarik yang saya temukan sepanjang perjalanan memahami modul 1.4. Setelah mempelajari modul tersebut dari awal hingga akhir, hal ini sedikit banyak membuat beberapa perubahan mindset pada diri saya. Saya yang awalnya sangat yakin bahwa hukuman dan reward adalah hal paling ideal yang bisa pendidik lakukan untuk membentuk karakter siswa, kini mulai berubah pandangan. Dari modul 1.4 saya mendapat banyak pengetahuan terkait hal-hal yang perlu dilakukan pendidik dalam upaya membentuk karakter siswa. Pengalaman terkait penerapan konsep-konsep dalam modul 1.4 salah satunya adalah dengan menerapkan langkah-langkah sesuai dengan segitiga restitusi pada setiap pelanggaran yang dilakukan oleh siswa saya. Saya merasa sangat bersemangat saat menerapkan segitiga restitusi tersebut, dan saya merasa lebih tenang saat menyelesaikan setiap pelanggaran yang dilakukan oleh siswa. Dari penerapan konsep-konsep sesuai modul 1.4 pastilah ada beberapa hal yang masih perlu dibenahi dan diperbaiki.
Sebelum mempelajari modul 1.4 ini, posisi kontrol yang lebih sering saya pakai dalam keseharian adalah posisi penghukum, sebelumnya saya kurang memahami bahwa ternyata dibalik semua perilaku siswa pasti ada penyebab yang mendasari. Setelah mempelajari modul ini, posisi yang lebih sering saya pakai adalah posisi manajer, perbedaan yang saya rasakan dengan menerapkan posisi manajer dalam menyelesaikan pelanggaran yang dilakukan oleh siswa adalah perasaan saya lebih tenang dan terkendalikan, siswa yang melakukan pelanggaran pun secara sadar diri mampu menemukan kesalahan mereka sekaligus menemukan sebuah solusi yang berdasar dari buah kesadaran mereka sendiri.
Sebelum mempelajari modul 1.4 ini, dalam beberapa kali saya sudah melakukan langkah-langkah dalam segitiga restitusi namun belum mengetahui bahwa ternyata langkah tersebut adalah salah satu dari proses segitiga restitusi. Langkah yang pernah saya lakukan adalah validasi tindakan siswa, ketika siswa melakukan pelanggaran, beberapa kali saya berusaha memahami perasaan mereka dan mencoba memposisikan diri sebagai siswa tersebut.

Selain konsep-konsep yang sudah dikemas dengan apik dan lengkap dalam modul ini, satu hal yang menurut saya penting dalam proses menciptakan budaya positif adalah konsistensi. Karena tanpa adanya sebuah konsistensi, maka rancangan-rancangan, teori serta pengaplikasiannya lama kelamaan akan menghilang begitu saja dan menjadi sia-sia.
Semoga, kita semua bisa menjadi pendidik yang tidak hanya piawai menerapkan teori-teori kepada siswa kita, namun juga mampu konsisten dalam melakukan hal-hal baik tersebut.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kisah seekor Gajah yang (sudah tidak) terbelenggu