Kisah seekor Gajah yang (sudah tidak) terbelenggu
Tulisan ini sekaligus sebagai tugas saya pada Pendidikan Guru Penggerak Angkatan 5, koneksi antar materi modul 1.1 dan 1.2.
Banyak hal menarik saat saya mempelajari modul 1.1 hingga akhir modul 1.2. Saya menemukan Ilmu ilmu baru yg belum pernah saya ketahui sebelumnya lewat modul ini. Kaitan antara modul 1.1 dan 1.2 yang saya pahami adalah bagaimana prinsip prinsip pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara akan tercapai dengan maksimal jika seorang pendidik mempunyai nilai-nilai guru penggerak dan menjalankan tugasnya sesuai dengan peran guru penggerak.
Ada satu hal yang menarik perhatian saya pada kegiatan akhir di modul 1.2, yaitu pada saat sesi elaborasi bersama Ibu Instruktur. Dalam kegiatan tersebut disajikan sebuah gambar Gajah dewasa yang kakinya diikat dengan seutas rantai. Padahal, terlihat di foto tersebut bahwa sebenarnya rantai yang membelenggu sudah dilepaskan dari pasaknya. Jadi, dalam realitanya Gajah dalam foto sudah tidak terbelenggu, ia sudah bisa bergerak bebas kemana saja sebenarnya. Namun, Gajah itu tak pernah mau beranjak dari tempatnya. Hal ini yang membuat saya tertarik dan menggelitik saya untuk mencari tahu lebih dalam. Ternyata, sewaktu si Gajah kecil, ia diikat dan dibelenggu dengan rantai yang membuatnya tidak bisa bebas bergerak. Sekuat apapun ia mencoba, rantai tersebut bahkan tidak merenggang sedikitpun. Ia hanya mampu menunggu si empunya yang rutin memberinya makan dan minum. Gajah tidak pernah merasa kelaparan dan kehausan, kebutuhannya terjamin, namun kebebasannya terkekang. Saat dirasa Gajah sudah jinak maka pawang memutuskan untuk memotong ikatan rantai dan pasak. Dan apa yang terjadi? Gajah itu bahkan tidak sedikitpun terlihat ingin beranjak dari tempatnya. Seakan-akan dia masih merasa bahwa kakinya terbelenggu oleh rantai yang kuat. Hingga ia dewasa, Gajah masih berpikir bahwa ada rantai yang selalu membelenggu kakinya.
Saat mengetahui kisah gajah kecil dan belenggunya ini, saya langsung tertegun, kemudian mencoba menginstrospeksi diri dan bertanya ke dalam hati, jangan-jangan selama ini saya sebagai pendidik juga bertindak seperti itu pada murid-murid saya. Terlalu mengekang kemerdekaan belajar mereka, sehingga saya tak ubahnya seperti pawang gajah yang membelenggu mereka dengan rantai dan pasak.
Sebelum mendengar kisah gajah kecil yang tebelenggu oleh rantai, saya berpikir bahwa dalam proses pembelajaran yang terpenting adalah bagaimana semua siswa mengerti materi yang saya sampaikan. Saya jarang memberi kebebasan kepada mereka untuk mengkonstruksi sendiri sebuah pengetahuan baru, dengan cara menyenangkan yang sesuai dengan minat mereka. Namun, sesaat setelah saya mendengarkan kisah tersebut, saya menjadi khawatir, takut jika selama ini belenggu-belenggu yang saya berikan kepada murid saya mempunyai efek panjang hingga mereka dewasa nanti. Bagaimana jika di kemudian hari mereka tidak mampu mengeluarkan segala potensi yang ada jika dari kecil mereka selalu merasa terbelenggu, tidak pernah merasakan makna pendidikan yang hakikatnya adalah proses memerdekakan? Sama seperti Gajah dewasa yang sebenarnya sudah tidak terbelenggu, dan kekuatannya sudah lebih besar berlipat-lipat kali dibanding waktu ia kecil dulu. Namun, keyakinan Gajah itu masih sama, kebiasaan terbelenggu dari kecil membuatnya ia tumbuh menjadi Gajah yang tidak mampu menyadari kekuatan dirinya, ia hanya mau menunggu pawang datang untuk memberinya makan, tidak mau berusaha barang sedikit saja.
Setelah hati saya tergugah dan pemikiran saya terbuka, maka saya bertekad untuk merubah diri. Saya tidak mau menjadi pendidik yang menyerupai si pawang Gajah. Membelenggu murid-murid saya sesuai dengan apa yang saya mau. Maka saya akan berusaha menciptakan suasana pembelajaran yang menyenangkan untuk murid. Caranya adalah dengan menyisipkan permainan yang menarik minat murid dalam setiap proses pembelajaran. Selain itu, saya akan memberikan beberapa pilihan bentuk tugas yang bisa murid pilih, agar mereka tidak sekadar mengerjakan tugas begitu saja. Saya ingin mereka mengerjakan tugas dengan hati yang gembira. Selain memperbaiki proses pembelajaran, saya juga perlu mengupgrade diri saya lewat berbagai pelatihan atau workshop yang mampu menunjang kemampuan saya sebagai seorang guru penggerak yang berpihak pada murid, mandiri, inovatif, reflektif dan kolaboratif. Sehingga pada akhirnya saya benar-benar mampu mengejawantahkan semboyan tergerak, bergerak dan menggerakkan, semoga.

Komentar
Posting Komentar