[bukan] tabula rasa

  


 

     Saat ini saya sedang mengikuti Pendidikan Guru Penggerak angkatan 5. Saya berasal dari sebuah Sekolah Dasar di Kabupaten Situbondo, SD Negeri 6 Pesisir. Tulisan ini dibuat untuk berbagi tentang ilmu yang saya dapatkan, sekaligus untuk memenuhi tugas pada modul 1.1.a.9 Koneksi Antar Materi-Kesimpulan dan Refleksi Ki Hajar Dewantara.

     Selama kurang lebih dua pekan ini, saya sedang berkutat dengan modul pertama. Dalam modul ini kami diajak untuk lebih mengenal Bapak Pendidikan Nasional kita, memahami bagaimana beliau mencetuskan konsep-konsep pemikiran yang tetap relevan hingga saat ini, meskipun perkembangan sistem pendidikan di Indonesia sudah mengalami beberapa kali perubahan. Pemikiran-pemikiran beliau membuat saya beberapa kali berdecak kagum sembari bergumam "ah iya", "betul sekali", "iya juga ya". Beberapa point penting, saya rangkum dalam sebuah catatan kecil, berharap ini selalu menjadi pengingat saya agar mampu menjadi pendidik yang lebih baik dari hari kemarin.

     Mengulik tentang judul tulisan saya kali ini, tabula rasa. Pernahkah Bapak Ibu mendengar kata tabula rasa? Saya sendiri mendengar dan mengenal kata tabula rasa dari judul sebuah film drama dokumenter Indonesia beberapa tahun yang lalu. Tabula rasa berasal dari bahasa latin yang berarti kertas kosong. Sebelum saya mempelajari tentang pemikiran-pemikiran filosofis Ki Hajar Dewantara, saya adalah salah satu yang percaya bahwa anak-anak bak tabula rasa. Menurut pribadi saya yang lalu, anak-anak adalah kertas kosong. Maka, jika anak-anak sebagai kertas kosong, tugas pendidiklah yang mengisi kertas tersebut dengan ilmu dan informasi serta pengetahuan untuk anak. Anggapan saya di hari lalu tersebut secara tidak sadar membuat pusat pembelajaran berada pada saya sebagai pendidik. Saya memposisikan anak-anak sebagai objek yang pasif karena anggapan bahwa pendidiklah yang aktif  berperan sebagai pena yang mengisi kertas kosong tersebut.

     Dari modul yang saya pahami, video yang saya amati, serta diskusi-diskusi di ruang virtual bersama rekan rekan CGP, fasilitator, pengajar praktik dan juga instruktur, saya menyadari bahwa anggapan saya selama ini keliru. Anak bukan tabula rasa, melainkan anak lahir ke dunia dengan potensi-potensi yang sudah melekat pada dirinya. Jika diibaratkan, anak adalah kertas yang sudah penuh dengan tulisan namun masih tampak samar. Tugas kita sebagai pendidik adalah sebagai marker yang berfungsi menebalkan tulisan-tulisan yang masih samar tersebut.

     Saya menjadi paham bahwa sejatinya pendidikan itu adalah proses menuntun, ingat saja ketika waktu kecil dulu kita masih belajar berjalan, orang tua akan mengikuti kemana arah kita berjalan dengan hanya menuntun, mengamati dan mengarahkan kembali jika kita sudah mulai terseok seok hendak terperosok, bukan memaksa kita berbalik arah atau berbelok. Begitulah harusnya seorang pendidik, pendidik hanya perlu menuntun anak agar mampu mengeluarkan potensi yang sudah ada pada diri mereka.

     Setelah memahami pemikiran Ki Hajar Dewantara yang sangat sarat akan makna, ada  beberapa hal yang perlu segera saya benahi. Maka, rencana yang ingin saya lakukan agar pemikiran Ki Hajar Dewantara benar-benar menjadi nyawa dalam kelas saya adalah mengubah mindset awal "anak bak tabula rasa" menjadi "anak bukanlah tabula rasa". Dengan begitu saya akan merancang kembali kegiatan pembelajaran agar saya sebagai pendidik bukan berperan sebagai pena yang menulis kertas kosong melainkan sebagai marker yang menebalkan tulisan-tulisan yang masih samar pada sebuah kertas.

     Metode pembelajaran yang di hari lalu hanyalah sebagai sarana mentransfer informasi satu arah, akan saya rancang kembali agar menjadi wadah untuk anak-anak mengeluarkan semua potensi diri, sehingga pada akhirnya mereka akan mampu menemukan sendiri pengetahuan yang baru.
     Hal ini saya lakukan dengan membuat variasi kegiatan pembelajaran sesuai dengan perkembangan mereka saat ini, yaitu tahap bermain. Menyisipkan permainan-permainan dalam proses pembelajaran tentu akan membuat mereka gembira dan bahagia. Di lain waktu, saya juga akan memberikan variasi bentuk tugas yang boleh dipilih sesuai dengan minat mereka, tentu ini akan sangat menyenangkan, bukan?

     Melalui perubahan kecil ini, saya berharap dapat ikut berperan serta dalam memperbaiki tujuan utama pendidikan yang sebenarnya, semoga. 


Situbondo, 01 Juni 2022

Komentar

  1. Saat bermain, mereka mengenal Alpha Zone. Di situlah peran guru juga berfungsi sebagai marker. Menebalkan apa yang samar melalui permainan dan jokes. Anak-anak menjadi tidak kaku dan berangsur lentur mengikuti irama permainan serta ikut dalam gelak tawa. Karena sejatinya sekolah adalah untuk mengisi waktu luang. Regards,
    Madame Vika Varia

    BalasHapus
    Balasan
    1. Waaah betul sekali alpha zone namanya, terimakasih sudah mampir madame vika, sobat inspirasi menulisku, ❤

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kisah seekor Gajah yang (sudah tidak) terbelenggu